Masuknya Kecerdasan Buatan (AI) ke dalam lingkungan pendidikan telah memicu perdebatan sengit sekaligus membuka cakrawala baru di jenjang SMA. AI, yang kini mampu menghasilkan teks, kode program, hingga analisis data canggih, hadir sebagai pedang bermata dua: ia bisa menjadi ancaman serius terhadap integritas akademik (misalnya, melalui plagiarisme cerdas) atau menjadi tool revolusioner yang mempersonalisasi pembelajaran. Menghadapi fenomena ini, sekolah perlu merumuskan Strategi Adaptasi yang komprehensif, tidak hanya untuk memitigasi risiko, tetapi juga untuk memaksimalkan potensi teknologi ini demi mempersiapkan siswa menghadapi masa depan yang digerakkan oleh AI. Adaptasi ini harus melibatkan perubahan pola pikir, kurikulum, dan metode penilaian.
Bagi para pendidik, tantangan terbesar AI adalah bagaimana mempertahankan relevansi profesi mereka ketika AI dapat menyediakan informasi dengan kecepatan superior. Oleh karena itu, Strategi Adaptasi guru tidak lagi berfokus pada penyampaian fakta, melainkan pada pengembangan kemampuan membimbing siswa dalam proses berpikir, menganalisis kritis, dan menyintesis informasi yang dihasilkan AI. Sebuah laporan dari Asosiasi Guru Indonesia (AGI) pada bulan Mei 2025 merekomendasikan agar pelatihan guru wajib mencakup modul tentang “Prompt Engineering” dan “Etika Penggunaan AI dalam Pembelajaran” sebagai bagian dari sertifikasi ulang profesi. Ini adalah langkah krusial untuk memastikan bahwa guru dapat mengintegrasikan AI secara etis dan pedagogis, bukan sekadar melarangnya.
Sementara itu, bagi siswa, ancamannya adalah risiko ketergantungan. Jika tugas esai dan pekerjaan rumah sepenuhnya diserahkan kepada AI, proses berpikir kritis mereka akan terhambat. Oleh karena itu, Strategi Adaptasi bagi siswa harus diarahkan pada co-existence dengan AI; menggunakannya sebagai asisten yang kuat, bukan pengganti otak. Penugasan sekolah harus didesain ulang menjadi tugas-tugas yang tidak dapat diselesaikan hanya oleh AI generatif. Contohnya adalah proyek yang menuntut validasi data lapangan, wawancara dengan narasumber lokal (misalnya, wawancara dengan Ketua RT 05 di Kelurahan Sukamaju pada hari Rabu, 17 September 2025, mengenai pengelolaan sampah), atau presentasi publik yang melibatkan keterampilan emosional dan persuasi—aspek-aspek yang hingga kini masih menjadi domain eksklusif manusia.
Peluang yang ditawarkan AI jauh lebih besar daripada risikonya. AI dapat digunakan untuk mempersonalisasi jalur belajar, mengidentifikasi kelemahan spesifik setiap siswa, dan menyediakan latihan yang disesuaikan (adaptive learning). Di sisi administrasi sekolah, AI dapat mengambil alih tugas-tugas rutin, seperti grading otomatis untuk pilihan ganda atau penjadwalan ujian, yang secara signifikan mengurangi beban kerja guru. Data dari uji coba sistem adaptive learning AI yang dilaksanakan di 10 SMA percontohan di Jawa Tengah pada tahun 2024 menunjukkan peningkatan rata-rata penguasaan materi bagi siswa dengan performa di bawah rata-rata sebesar 15% dalam satu semester. Temuan ini memperkuat urgensi Strategi Adaptasi yang berfokus pada pemanfaatan AI untuk pemerataan kualitas pendidikan.
Kesimpulannya, era AI di sekolah bukan tentang melawan gelombang, melainkan tentang belajar bagaimana “berselancar.” Melalui Strategi Adaptasi yang berani dan terencana, yang melibatkan pelatihan mendalam bagi guru dan penekanan pada keterampilan berpikir tingkat tinggi bagi siswa, sekolah dapat mengubah AI dari ancaman menjadi katalisator bagi transformasi pendidikan yang benar-benar relevan untuk masa depan.
