Masa remaja di jenjang pendidikan SMA seringkali diwarnai oleh gejolak batin yang signifikan. Transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa membawa serta tantangan akademik, sosial, dan pencarian identitas yang dapat memicu stres. Oleh karena itu, kemampuan Mengelola Emosi menjadi kompetensi kunci yang harus ditanamkan melalui pendidikan karakter. Emosi yang tidak terkelola dengan baik dapat berujung pada keputusan impulsif, konflik, bahkan memengaruhi kesehatan mental dan prestasi belajar siswa. Sekolah memiliki peran vital dalam mengajarkan keterampilan ini demi membentuk individu yang memiliki sikap resilience (daya lenting) dan kedewasaan psikologis.
Pendidikan karakter yang efektif berfokus pada pengenalan diri dan mekanisme koping. Di SMA Bhakti Mulia, misalnya, sejak tahun ajaran 2024/2025, sekolah tersebut mengimplementasikan program “E-Mo Center” (Emotional Monitoring Center) yang merupakan sesi konseling kelompok mingguan. Program ini diadakan setiap hari Rabu pukul 14.00 hingga 15.30 WIB di Ruang Serbaguna B. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Unit Bimbingan dan Konseling (BK) per 31 Agustus 2025, tercatat bahwa program ini berhasil menurunkan tingkat agresivitas verbal siswa sebesar 25% dan meningkatkan skor kuesioner resilience rata-rata sebesar 15 poin. Hal ini menunjukkan bahwa intervensi terstruktur sangat membantu siswa Mengelola Emosi saat menghadapi tekanan ujian, persaingan, atau masalah keluarga.
Keterampilan Mengelola Emosi juga mencakup kemampuan untuk menunda kepuasan dan menghadapi kegagalan dengan konstruktif. Siswa yang memiliki resilience tinggi akan memandang kegagalan, seperti nilai yang kurang memuaskan dalam mata pelajaran sulit, sebagai umpan balik, bukan sebagai akhir dari segalanya. Mereka tidak mudah larut dalam kekecewaan atau menyalahkan pihak lain. Ibu Maya Sari, S.Psi, Koordinator BK di sekolah tersebut, menekankan bahwa kunci dari pengembangan resilience adalah praktik mindfulness dan jurnal emosi. Siswa didorong untuk mencatat perasaan mereka secara teratur, minimal tiga kali seminggu, untuk mengidentifikasi pola pemicu stres dan respons emosional mereka.
Selain itu, aspek kedewasaan dalam Mengelola Emosi tercermin dalam kemampuan berempati dan menyelesaikan konflik secara damai. Sebuah insiden sengketa kecil yang terjadi pada tanggal 5 September 2025 di Lapangan Basket SMA Bhakti Mulia, yang melibatkan dua siswa kelas XI karena kesalahpahaman jadwal latihan, berhasil diselesaikan melalui mediasi berbasis nilai-nilai, bukan sanksi keras. Petugas Keamanan Sekolah, Bapak Jaka Santosa, yang menyaksikan insiden tersebut, melaporkan kepada pihak BK, dan solusi yang disepakati adalah meminta kedua siswa tersebut menyusun proposal kegiatan bakti sosial bersama sebagai bentuk pertanggungjawaban kolektif. Proses ini mengajarkan bahwa mengutamakan dialog dan tanggung jawab jauh lebih efektif dalam mencapai kedewasaan sosial dibandingkan reaksi marah yang merusak hubungan. Dengan demikian, pendidikan SMA harus terus memprioritaskan kecerdasan emosional agar para lulusannya siap menghadapi kompleksitas dunia nyata dengan mental yang kuat dan matang.
